Minggu, 15 November 2009

arti sebuah reggae

Irama musik reggae ini, terdengar mengasyikkan. Iramanya yang dinamis, membuat pendengarnya terhanyut. Mereka ikut menghayati lirik-lirik dalam sebuah lagu berirama reggae ini.

Sepintas, penampilan para penggemar musik reggae ini seakan menunjukkan gaya hidup yang masa bodoh. Kaos oblong, jeans belel, serta rambut gimbal, menambah lusuh penampilannya.

Ditambah lagi dengan adanya stereotipe negatif yang selama ini muncul. Musik reggae terkesan identik dengan ganja, mariyuana, serta seks bebas. Hal itu diperkuat oleh kenyataan di mana petugas kebersihan kerap menemukan sisa lintingan ganja yang habis dibakar, seusai pertunjukkan musik reggae.


Soal penggunaan ganja untuk menikmati musik reggae tidaklah diterima oleh seluruh penikmat musik reggae. Menurut mereka, reggae sebetulnya adalah musik yang membawa pesan perdamaian.

Sehingga tak ada hubungannya sama sekali dengan penggunaan ganja yang merupakan benda ilegal untuk dikonsumsi secara bebas.Musik reggae semakin populer ke seluruh penjuru dunia di era tahun 1980-an, termasuk di Indonesia. Akar musik ini adalah musik ska, yang temponya lebih cepat dibandingkan reggae.

Dan kematian Bob Marley pada tahun 1981, malah semakin membuat musik dinamis ini menjadi semakin digemari.Bisa jadi, penggemar musik yang menghisap ganja saat mendengar lagu-lagu reggae, sebetulnya terbawa oleh upaya meniru perilaku perilaku negatif idolanya.

Pada praktiknya, menghisap ganja dapat memunculkan fantasi tertentu bagi penggunanya. Dan ini yang diyakini oleh sebagian orang agar dapat membuat mereka lebih menikmati musik yang dimainkan.

Bagi sebagian orang, reggae sebetulnya dapat memberikan pengaruh yang positif. Selain lirik lagu reggae berisi pesan perdamaian, juga memberikan dorongan untuk membuat hidup lebih baik.

Pesan perjuangan yang diusung dalam musik reggae, diilhami dari kondisi sosial di Afrika, khususnya di Jamaika, yang merupakan daerah koloni negara-negara Eropa.

Karena itu, tidak heran orang-orang yang bernasib serupa dengan orang Jamaika, akhirnya juga menyukai reggae.

Namun, tidak semua penggemar reggae memahami makna di balik gelora musik ini. Sebagian masih melihatnya sekedar sebagai hiburan belaka, yang berkonotasi dengan suasana santai, atau liburan.

Sebutan rastaman muncul karena musik reggae awalnya diusung oleh penganut rastafari. Masalahnya, banyak yang menyalahartikan identitas rastafari. Padahal, para penganut rastafari tidak identik dengan alkohol atau pun ganja. Bahkan, mereka tidak memakan daging alias vegetarian.

Sejatinya, rastafarian awalnya merupakan suatu gerakan yang populer di Karibia. Gerakan ini menolak bangsa Afrika berada dalam penindasan kulit putih. Ras Muhamad yang menjalani falsafah rastafari sejak sepuluh tahun terakhir mengakui, di Indonesia terdapat bias dalam memandang rastafarian.

Sesungguhnya, penganut rastafarian yang disebut sebagai rastamania, atau rastafarian tidak mengkonsumsi alkohol, obat bius, ganja, dan beberapa diantaranya adalah vegetarian. Perbedaan cara memandang pada gerakan ini lebih disebabkan minimnya sumber-sumber informasi yang benar-benar paham akan rastafari.

Sehingga justru yang timbul dan diikuti oleh sebagian orang adalah perilaku negatifnya saja.Salah satu musisi Jamaika, Bob Marley, yang juga menganut rastafarian, memberi andil yang signifikan dalam mempopulerkan reggae ke dunia internasional.

Tembang-tembang yang dimainkan oleh Bob Marley memanifestasikan gerakan perjuangannya melawan rezim apartheid di Afrika.

Lagu dalam musik reggae yang berisi pesan perdamaian, serta perjuangan terhadap kehidupan maupun kritik-kritik sosial dilatarbelakangi situasi di Afrika, lebih khusus lagi di Jamaika, yang kerap mengalami pertikaian politik.

Lagu-lagu yang berakar dari musik Jamaika, seperti reggae atau ska, yang sarat dengan semangat anti perbudakan, keinginan untuk hidup mandiri, serta memiliki tujuan yang jelas dalam hidup, merupakan bagian yang tidak jauh berbeda dengan falsafah rastafari.

Namun, bagian positif seperti ini kerap luput dari pandangan banyak penggemar reggae. Sebagian besar justru lebih banyak terbawa arus gaya hidup sang legenda, Bob Marley.

Kalangan musisi yang bergelut di aliran musik reggae menyayangkan kaum pecinta reggae yang tidak mengerti makna sesungguhnya, musik yang satu ini. Mereka berharap, para pecinta reggae menghayati makna terdalam dari musik yang satu ini agar aliran ini tidak dimanfaatkan untuk menjaring kaum remaja ke arah yang negatif.
Saat ini banyak penggemar reggae yang menamai diri rastaman, tetapi menjalani gaya hidup yang seenaknya, yang bertolak belakang dengan pandangan penganut rastafari. Padahal, meski berasal dari kawasan yang sama, reggae dan rastafari merupakan dua hal yang berbeda.

Begitu kentalnya nuansa falsafah rastafarian dalam ratusan tembang yang dicipta dan dibawakan musisi reggae, membuat citra reggae dan rastafarian sulit untuk dipisahkan.

Minimnya informasi mengenai esensi dari reggae dan rastafarian membuat pengertian antar keduanya menjadi tumpang tindih. Bahkan, ada orang yang menggunakan kata rasta sebagai kata ganti untuk mariyuana, atau ganja.

Sehingga beberapa orang merasa takut untuk disebut sebagai rastaman, karena berkonotasi negatif. Dalam hal penggunaan ganja, Tony Q (baca : toni kiuw) yang sudah belasan tahun bergelut di musik reggae, baik di dalam negeri, maupun mancanegara, punya pengalaman tersendiri dalam hal penggunaan ganja sebagai benda terlarang.

Jika diamati, para musisi reggae memang punya simpati kuat pada kaum rastafarian. Karena itu, mereka keberatan jika reggae dikonotasikan identik dengan kehidupan yang negatif. Kendati sebagai hiburan, musik reggae sejatinya berisi pesan positif.

Pada intinya, setelah melalui perjalanan panjangnya, reggae dan rastafarian bisa dibilang punya arah yang sama. Membawa pesan kasih sayang dan perdamaian, bukan sekedar berambut gimbal atau tampil berantakan.

Tak kenal maka tak sayang. Itulah jeritan hati pecinta reggae sejati. Kebebasan yang mereka inginkan, bukanlah kebebasan tanpa batas lewat pengaruh daun ganja.

Rabu, 05 Agustus 2009


Duduk di tepi pantai
menunggu matahari turun di ufuk barat
indahnya warna damaikan rasa
sunset indah menghiasi sore hariku

sambut matahari yang turun
nyanyikan Reggae musik
bukan cuma memberikan relaksasi,
tapi juga membawa pesan cinta,
damai, kesatuan dan keseimbangan
serta mampu mengendurkan
ketegangan.lagu pantai
resapi indahnya alam
ku masuk ke dalamnya

Roda hidup


bersama nikmati kopi
bercerita bersama tentang kehidupan
di temani sebungkus rokok
brcerita manis pahit hidup

oh roda kehidupan
kau bagaikan putaran jarum jam
hidup pnuh suka duka
ada yang kaya ada yang miskin
ada yang mati ada yang hidup
ada yang pahit ada yang manis
ada senag dan ada yang susah

dan biarlah ku hidup di jalanku
hidup se adanya
tak mau ku terjerumuske jurang
karena ku tau jurang itu dalam

memang hidup di dunia tak sendiri
semua saling berpegangan
saling bahu membahu
tapi ku saring dan tak mau ku terjerumus.

Tak Berhasil Jatuh

ku terjang jurang itu
tapi tak dapat menggapainya
secercah harapan yang ku bawa
ternyata tak sampai

kalimat-kalimat ku kuberikan
hanyalah kiasan
spirit yang ku punya tertiup angin
hilang begitu saja entah kemana

di saat-saat semua itu hilang
kau datang memberikan semyuman
kau bagikan air bening tak berarus
jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh

uye.............continue


by.
Alh Tagareggae

untuk

Sabtu, 01 Agustus 2009

Pengelolaan Yayasan di Indonesia dan RUU Yayasan

Hikmahanto Juwana*

Pengantar
Berbeda dengan tujuan pendirian dari perseroan terbatas (selanjutnya disingkat “PT”), tujuan filosofis pendirian yayasan dipahami sebagai tidak bersifat komersial atau tidak mencari keuntungan (nir laba atau non-profit).1 Oleh karenanya tujuan pendirian dari yayasan diidentikan dengan kegiatan bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kemanusian dan banyak lagi.
Di Indonesia, apabila diperhatikan anggaran dasarnya, hampir semua yayasan didirikan untuk tujuan nir laba. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa dalam praktek yayasan-yayasan tersebut tidak menjalankan kegiatan yang bersifat komersial. Di bidang pendidikan kritik kerap ditujukan pada institusi penyelenggara pendidikan dimana badan hukum yang digunakan adalah yayasan. Harus diakui bahwa pengelolaan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tidak sedikit yang menjurus pada pencarian keuntungan. Demikian pula yayasan yang mengelola rumah-rumah sakit mewah dianggap sebagai tidak sejalan dengan tujuan dari yayasan yang bersifat nir laba.
Dalam tulisan ini hendak dipaparkan berbagai penyebab penyimpangan pembentukan yayasan yang kerap terjadi dan kelemahan pengelolaan yayasan. Selanjutnya untuk menghindari penyimpangan dan kelemahan dari yayasan maka kehadiran Rancangan Undang-Undang Yayasan yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut “RUU Yayasan”) merupakan kebutuhan yang mendesak. Dalam tulisan ini akan disampaikan pendapat penulis tentang telah diakomodasinya prinsip-prinsip governance dalam mengelola RUU Yayasan dan beberapa kritik atasnya.

RUU Yayasan: Tepatkah?
Sebelum penulis membahas tentang pengelolaan yayasan, sedikit komentar penulis sehubungan dengan RUU Yayasan. Dalam RUU Yayasan ada kesan seolah-olah RUU dibuat berdasarkan asumsi bahwa semua bentuk yayasan yang ada di Indonesia pada saat ini adalah sama. Padahal karena tidak adanya peraturan perundang-undangan tentang yayasan selama ini, dalam realita yang terjadi tidak adanya keseragaman bentuk yayasan. Sebagai contoh walaupun wakaf dapat diterjemahkan sebagai yayasan, namun secara operasional antara yayasan dan wakaf memiliki perbedaan yang mendasar. RUU Yayasan justru hendak “memaksakan” penyeragaman wakaf dengan yayasan.
Keberagaman yang terjadi pada bentuk yayasan tidak terjadi pada waktu pembentukan UU perseroan terbatas sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1995. Ada dua alasan mengapa demikian. Pertama, walaupun tidak banyak ketentuan yang termuat, Kitab Undang-undang Hukum Dagang masih dapat dijadikan penyeragaman acuan pendirian perseroan terbatas. Alasan kedua adalah Departemen Kehakiman & HAM melalui kewenangan memberi pengesahan dan persetujuan bisa memastikan adanya keseragaman terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perseroan terbatas.
Atas dasar komentar diatas penulis mengusulkan agar RUU Yayasan yang saat ini dibahas diganti menjadi RUU tentang Badan Hukum Nir Laba. Dalam RUU ini dapat diatur berbagai bentuk badan hukum nir laba yang dikenal dalam masyarakat, termasuk yayasan dan wakaf.
Selanjutnya penulis berpendapat bahwa UU Badan Hukum Nir Laba yang akan dihasilkan harus lebih mengakomodasi apa yang ada dan terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian pembentukan UU Yayasan harus dilakukan secara bottom up atau melembagakan apa yang ada dalam masyarakat. Kesan penulis pada RUU Yayasan yang saat ini dibahas oleh DPR dan Pemerintah lebih berorientasi pada proses top-down dimana masyarakat harus menyesuaikan apa yang dikehendaki oleh para elit. Resiko yang mungkin muncul dengan proses pembentukan ini adalah ketidakefektifan UU Yayasan dalam masyarakat apabila tidak didukung dengan penegakan hukum yang tegas tanpa kompromi.

Penyebab Penyimpangan Pengelolaan Yayasan
Banyak sebab mengapa berbagai yayasan di Indonesia menyimpang dari tujuan filosofis dari didirikannya yayasan. Pertama, sulit untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kegiatan sosial. Apakah pendidikan termasuk dalam definisi kegiatan sosial? Sepintas lalu mungkin. Namun dalam kenyataan banyak institusi pendidikan yang mengejar keuntungan, bahkan sering dikatakan bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang baik seseorang harus membayarnya dengan mahal. Di Amerika Serikat, universitas-universitas pilihan umumnya adalah universitas swasta. Mereka menjaring tidak saja calon mahasiswa yang pandai tetapi juga calon mahasiswa yang berasal dari kalangan berada. Demikian pula dengan pendirian rumah sakit: apakah dapat dikatakan sebagai kegiatan sosial? Praktek menunjukkan bahwa ada rumah sakit yang didirikan untuk melayani mereka-mereka yang menginginkan pelayanan prima, tidak berdesak-desakan dan berada di rumah sakit seolah-olah berada di hotel mewah. Oleh karenanya sulit untuk menentukan secara sederhana apa yang dipahami sebagai kegiatan sosial benar-benar merupakan kegiatan sosial yang sama sekali terhindar dari aspek komersial.
Selanjutnya penyebab lain dari penyimpangan bersumber pada peraturan perundang-undangan. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat ditemukan ketentuan yang mensyaratkan penyelenggaraan suatu kegiatan dilakukan oleh yayasan. Di sektor pendidikan, universitas swasta harus dikelola oleh yayasan. Demikian pula dengan sektor kesehatan yang mensyaratkan rumah sakit didirikan dalam bentuk yang sama. Padahal, sebagaimana diuraikan diatas, tidak semua kegiatan pendidikan ataupun kesehatan hanya bersifat sosial. Bagi mereka yang ingin mendirikan lembaga pendidikan atau rumah sakit untuk tujuan komersial tentunya tidak mempunyai pilihan lain selain menggunakan yayasan sebagaimana dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Akibatnya adalah yayasan didirikan untuk sekedar memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan. Padahal yayasan tersebut dikelola sebagaimana layaknya sebuah PT yang merupakan badan hukum yang mencari keuntungan.
Ketiga, yayasan digunakan sebagaimana layaknya PT. Yayasan demikian didirikan dengan maksud sebenarnya untuk mencari keuntungan baik langsung maupun tidak langsung. Banyak contoh untuk hal ini. Yayasan didirikan untuk memiliki saham, untuk mengelola gedung secara komersial, bahkan biro perjalanan yang menawarkan perjalanan ke tempat-tempat suci sering menggunakan yayasan sebagai badan “usaha”-nya. Masuk dalam katagori ini adalah perusahaan-perusahaan yang mendirikan yayasan untuk mendapat keringanan pajak. Padahal selain mendapat keringanan pajak, perusahaan tersebut akan terkesandimata banyak orang sebagai tidak semata-mata mencari keuntungan tetapi juga mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat (kegiatan ini sering disebut sebagai image building). Pada contoh ini keuntungan diperoleh secara tidak langsung.

Sumber Kelemahan Pengelolaan Yayasan
Sumber kelemahan utama dari pengelolaan yayasan adalah tidak adanya aturan yang mengatur tentang yayasan. Yayasan dapat dikelola secara bebas tanpa ada peraturan yang harus diperhatikan. Keberadaan yayasan selama ini hanya didasarkan pada praktek-praktek yang terpelihara. Kekuatan hukum dari praktek-praktek ini tentunya sangat lemah. Akibat lain adalah tidak terjaminnya kepastian hukum mengingat praktek yang satu berbeda dengan praktek lainnya. Ketiadaan pengaturan yayasan juga berarti tidak adanya acuan yang dapat digunakan untuk mengatakan bahwa sesuatu boleh atau tidak boleh.
Di samping itu tidak adanya ketentuan tentang transparansi pengelolaan yayasan kerap disalahgunakan oleh para pendiri maupun pengurus yayasan. Bahkan banyak yayasan yang menggalang dana cukup banyak dari masyarakat terbebas dari kewajiban untuk di-audit. Masyarakat tidak tahu apakah dana yang disumbangkan pada suatu yayasan benar-benar untuk kepentingan sosial atau justru untuk kepentingan lain, bahkan terjadinya kebocoran-kebocoran.
Kelemahan lain adalah yayasan dikelola secara tidak profesional. Pendiri yayasan adalah juga pengurus. Peran dari pengawas yang diangkat untuk megawasi kegiatan dan keuangan yayasan tidak melaksanakan pekerjaannya secara sungguh-sungguh, bahkan terkesan pengangkatan mereka dilakukan sebagai formalitas belaka.



UU Yayasan: Kebutuhan Mendesak
Berbagai kalangan telah mengungkapkan bahwa UU Yayasan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Penulis sependapat dengan apa yang dilontarkan oleh berbagai kalangan ini. Dengan lahirnya UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba akan memberi arah yang jelas tentang berbagai hal yang berkaitan dengan yayasan, dapat menekan berbagai penyimpangan dari yayasan yang selama ini terjadi dan dapat dihindari berbagai kelemahan yang menghinggapi pengelolaan yayasan.
Kehadiran UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba sudah barang tentu akan memberi kepastian hukum yang selama ini tidak ada. Bahkan UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba dapat menjadi dasar untuk menindak apabila terjadi penyimpangan. Hanya saja apabila UU Yayasan hanya berisi tentang prosedur pendirian belaka atau prosedur-prosedur lainnya, walaupun baik tetapi tidak optimal. UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba harus berisi pula ketentuan yang dapat memaksa pengurus beserta organ lainnya untuk mengelola yayasan secara profesional dan baik.

RUU Yayasan dan Penerapan Prinsip Governance dalam Pengelolaan Yayasan
Akhir-akhir ini di Indonesia sering didengungkan tentang prinsip governance. Masalah governance yang berkaitan dengan pemerintahan dikenal dengan istilah good governance, sementara yang berkaitan dengan perusahaan dikenal dengan istilah corporate governance. Walaupun prinsip-prinsip yang dikandung berbeda satu sama lain, namun ada persamaan mendasar diantara keduanya. Persamaan ini terletak pada konsep dasar dari governance yaitu perlunya kontrol berdasarkan aturan terhadap pada pengurus karena stakeholder yang sangat variatif sulit diharapkan mengkontrol pengurus yang bertanggung jawab atas kegiatan sehari-hari. Dalam good governance yang menjadi stakeholder adalah rakyat, lembaga legislatif dan lain sebagainya, sementara yang menjadi pengurus adalah pemerintah (eksekutif). Sedangkan dalam corporate governance yang menjadi stakeholder adalah pemegang saham yang bukan mayoritas, konsumen dan lain sebagainya, sementara yang menjadi pengurus adalah direksi.
Kontrol terhadap pengurus perlu dilakukan karena bagi pengurus sulit menafsirkan untuk apa yang menjadi keinginan para stakeholder. Hal ini memberi peluang kepada pengurus untuk menjalankan negara atau perusahaan berdasarkan tafsirannya tentang apa yang dikehendaki oleh stakeholder. Peluang menafsirkan inilah yang sangat berbahaya apabila tidak ada kontrol karena cenderung disalahgunakan (abuse).
Adapun kontrol yang dilakukan tidak dapat dilakukan oleh para stakeholder secara langsung. Kontrol dilakukan dengan cara membatasi kewenangan pengurus. Batasan inilah yang disebut sebagai prinsip governance.
Dari prinsip governance dilahirkan prinsip-prinsip keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability) dan pertanggung jawaban (responsibility).2 Pengurus harus memperhatikan prinsip governance ini dalam menjalankan kepengurusan sehari-hari sehingga para stakeholder tidak dirugikan. Agar prinsip governance mempunyai kekuatan hukum dan dipatuhi ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama adalah dengan mengakomodasikannya dalam suatu code of conduct yang bukan peraturan perundang-undangan.
Cara kedua adalah dengan mengakomodasikannya dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Cara kedua ini mensyaratkan keterlibatan negara (legislatif) dalam hal-hal yang bersifat hubungan perdata. Keterlibatan negara ini didasarkan pada argumentasi bahwa negara harus melindungi pihak yang lemah.
Prinsip governance dapat juga diterapkan dalam pengelolaan yayasan. Tujuan dari penerapan prinsip ini adalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaan yayasan sehingga stakeholder dirugikan. Supaya prinsip governance ini benar-benar dipatuhi, dalam konteks Indonesia perlu ditempuh cara kedua yaitu mengakomodasikannya dalam peraturan perundang-undangan.
Apabila diperhatikan RUU yang disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR dapat disimpulkan bahwa banyak hal dalam prinsip governance yang telah diakomodasi. Dalam RUU telah dipilah-pilah organ yayasan, yaitu Pembina, Pengurus dan Pengawas serta tugas dan tanggung jawab masing-masing3. Dalam konteks governance hal ini penting mengingat dibutuhkan kejelasan tentang siapa yang harus mempertanggungjawabkan apa (prinsip responsibility). Bahkan ketentuan Pasal 31 ayat (3) yang melarang Pengurus merangkap sebagai Pembina atau Pengawas merupakan hal penting untuk menjaga profesionalisme pengurus.4
Selanjutnya wujud dari diterapkannya prinsip governance dalam RUU Yayasan adalah pengaturan tentang tujuan dari Yayasan yang sangat limitatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tujuan yayasan adalah dibidang sosial, keagamaan dan kemanusian.5 Bahkan apabila diperhatikan Bagian Umum dari Penjelasan RUU Yayasan disebutkan bahwa,
“Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusian, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas.”6
Penegasan ini menunjukkan bahwa yayasan tidak boleh lagi digunakan untuk tujuan-tujuan yang bersifat komersial. Dalam konteks prinsip governance hal ini berarti bahwa stakeholder (termasuk para donatur) dapat memastikan bahwa yayasan tidak dijadikan kedok belaka.
Ada dua kritik yang dapat disampaikan sehubungan dengan pengaturan tentang pengaturan tujuan yayasan. Pertama adalah pengaturan tentang tujuan dari yayasan yang tidak diatur dalam pasal tersendiri. Dalam RUU Yayasan pengaturan tentang tujuan dari yayasan hanya diatur dalam pasal definisi. Kritik yang kedua adalah tujuan yayasan yang disebutkan dalam RUU menurut hemat penulis belum dilakukan secara tajam walaupun dalam penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa cakupan dari bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan antara lain adalah hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.7
Ketidaktajaman formulasi tentang tujuan yayasan dapat berakibat pada dilakukakannya praktek-praktek masa silam. Apakah sebuah kantor konsultan dibidang lingkungan yang melakukan kegiatannya secara komersial dapat mendirikan yayasan? Hal ini mengingat lingkungan hidup tercakup dalam bidang sosial, agama dan kemanusiaan. Bukankah yang menjadi ukuran untuk menentukan tujuan yayasan adalah pada kegiatannya? Artinya kegiatan yayasan dilihat apakah mengejar keuntungan atau tidak. Tujuan yayasan seharusnya tidak didasarkan pada bidang kegiatan sebagaimana diatur dalam RUU Yayasan.
Berikutnya dalam konteks penerapan prinsip governance yang telah mendapat pengaturan dalam RUU Yayasan adalah larangan yayasan mendirikan badan usaha yang penyertaannya melebihi dari 25% dari seluruh kekayaan yayasan.8 Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6, ketentuan ini dimaksudkan agar yayasan tidak menyimpang dari tujuan didirikannya dan lebih mengejar aspek komersial.9 Walaupun sudah baik, namun kekurangan dari ketentuan Pasal 6 ini adalah masih dapat digunakannya yayasan sebagai nominee untuk mendirikan perseroan terbatas.
Demikian pula dengan prinsip transparansi dari governance yang telah mendapat pengaturan dalam RUU Yayasan, yaitu Bab VII tentang Laporan Tahunan. Dalam Pasal 54 ayat (1), misalnya, disebutkan bahwa ikhtisar laporan tahunan yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor yayasan.10 Bahkan dalam Pasal 54 ayat (4) ada kewajiban bagi yayasan untuk diaudit oleh Akuntan Publik.11
Di samping hal-hal tersebut diatas dalam RUU Yayasan disana-sini sudah diserap prinsip governance. Seperti apa yang diatur dalam Pasal 36 ayat (2). Pasal tersebut menyebutkan bahwa Pengurus mempunyai kewajiban untuk menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.12 Demikian pula dengan ketentuan yang mengatur tentang benturan kepentingan antara Pengurus dengan Yayasan serta pembatasan kewenangan dari Pengurus sehubungan dengan pengelolaan kekayaan yang dimiliki oleh yayasan.13 Kemudian RUU Yayasan mensyaratkan keberadaan Pengawas sebagai suatu keharusan.14 Hanya saja dalam ketentuan tersebut tidak diatur secara rinci bahwa Pengawas haruslah orang yang independen baik terhadap Pengurus maupun Pembina. Sehingga dalam menjalankan tugasnya Pengawas akan bekerja secara profesional. Ketentuan lain yang sesuai dengan prinsip governance adalah kewenangan Pengawas untuk memberhentikan sementara anggota Pengurus.15 Kewenangan demikian penting untuk memberikan “gigi” bagi Pengawas dalam menjalankan tugasnya. Tanpa kewenangan tersebut dikhawatirkan Pengurus akan mengelola yayasan tanpa takut ada sanksi yang dikenakan padanya.
Walaupun prinsip governance sudah banyak diakomodasi, namun RUU Yayasan masih perlu disempurnakan. Banyak hal yang perlu mendapat penjelasan rinci sehingga dalam praktek nantinya tidak menimbulkan kesimpangsiuran atau penafsiran yang bermacam-macam. Sebagai contoh dalam Pasal 39 ayat (2) disebutkan bahwa Pengurus dapat mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, Pembina, dan atau Pengawas Yayasan atau seseorang yang bekerja pada Yayasan sepanjang perjanjian tersebut menguntungkan Yayasan.16 Permasalahannya adalah siapa yang menentukan apakah perjanjian yang dilakukan menguntungkan atau merugikan yayasan? Lalu apa ukuran untuk menentukan bahwa perjanjian yang dilakukan menguntungkan?


Penutup
Terlepas dari berbagai kekurangan yang terdapat dalam RUU Yayasan dimana masih ada waktu untuk memperbaikinya, kehadiran UU Yayasan tidak bisa ditawar-tawar lagi. UU Yayasan diharapkan dapat dijadikan acuan bagi masyarakat dan meminimalkan penyimpangan-penyimpangan dan kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan yayasan yang selama ini ada.

Pengelolaan Yayasan di Indonesia dan RUU Yayasan

Hikmahanto Juwana*

Pengantar
Berbeda dengan tujuan pendirian dari perseroan terbatas (selanjutnya disingkat “PT”), tujuan filosofis pendirian yayasan dipahami sebagai tidak bersifat komersial atau tidak mencari keuntungan (nir laba atau non-profit).1 Oleh karenanya tujuan pendirian dari yayasan diidentikan dengan kegiatan bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kemanusian dan banyak lagi.
Di Indonesia, apabila diperhatikan anggaran dasarnya, hampir semua yayasan didirikan untuk tujuan nir laba. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa dalam praktek yayasan-yayasan tersebut tidak menjalankan kegiatan yang bersifat komersial. Di bidang pendidikan kritik kerap ditujukan pada institusi penyelenggara pendidikan dimana badan hukum yang digunakan adalah yayasan. Harus diakui bahwa pengelolaan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tidak sedikit yang menjurus pada pencarian keuntungan. Demikian pula yayasan yang mengelola rumah-rumah sakit mewah dianggap sebagai tidak sejalan dengan tujuan dari yayasan yang bersifat nir laba.
Dalam tulisan ini hendak dipaparkan berbagai penyebab penyimpangan pembentukan yayasan yang kerap terjadi dan kelemahan pengelolaan yayasan. Selanjutnya untuk menghindari penyimpangan dan kelemahan dari yayasan maka kehadiran Rancangan Undang-Undang Yayasan yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut “RUU Yayasan”) merupakan kebutuhan yang mendesak. Dalam tulisan ini akan disampaikan pendapat penulis tentang telah diakomodasinya prinsip-prinsip governance dalam mengelola RUU Yayasan dan beberapa kritik atasnya.

RUU Yayasan: Tepatkah?
Sebelum penulis membahas tentang pengelolaan yayasan, sedikit komentar penulis sehubungan dengan RUU Yayasan. Dalam RUU Yayasan ada kesan seolah-olah RUU dibuat berdasarkan asumsi bahwa semua bentuk yayasan yang ada di Indonesia pada saat ini adalah sama. Padahal karena tidak adanya peraturan perundang-undangan tentang yayasan selama ini, dalam realita yang terjadi tidak adanya keseragaman bentuk yayasan. Sebagai contoh walaupun wakaf dapat diterjemahkan sebagai yayasan, namun secara operasional antara yayasan dan wakaf memiliki perbedaan yang mendasar. RUU Yayasan justru hendak “memaksakan” penyeragaman wakaf dengan yayasan.
Keberagaman yang terjadi pada bentuk yayasan tidak terjadi pada waktu pembentukan UU perseroan terbatas sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1995. Ada dua alasan mengapa demikian. Pertama, walaupun tidak banyak ketentuan yang termuat, Kitab Undang-undang Hukum Dagang masih dapat dijadikan penyeragaman acuan pendirian perseroan terbatas. Alasan kedua adalah Departemen Kehakiman & HAM melalui kewenangan memberi pengesahan dan persetujuan bisa memastikan adanya keseragaman terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perseroan terbatas.
Atas dasar komentar diatas penulis mengusulkan agar RUU Yayasan yang saat ini dibahas diganti menjadi RUU tentang Badan Hukum Nir Laba. Dalam RUU ini dapat diatur berbagai bentuk badan hukum nir laba yang dikenal dalam masyarakat, termasuk yayasan dan wakaf.
Selanjutnya penulis berpendapat bahwa UU Badan Hukum Nir Laba yang akan dihasilkan harus lebih mengakomodasi apa yang ada dan terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian pembentukan UU Yayasan harus dilakukan secara bottom up atau melembagakan apa yang ada dalam masyarakat. Kesan penulis pada RUU Yayasan yang saat ini dibahas oleh DPR dan Pemerintah lebih berorientasi pada proses top-down dimana masyarakat harus menyesuaikan apa yang dikehendaki oleh para elit. Resiko yang mungkin muncul dengan proses pembentukan ini adalah ketidakefektifan UU Yayasan dalam masyarakat apabila tidak didukung dengan penegakan hukum yang tegas tanpa kompromi.

Penyebab Penyimpangan Pengelolaan Yayasan
Banyak sebab mengapa berbagai yayasan di Indonesia menyimpang dari tujuan filosofis dari didirikannya yayasan. Pertama, sulit untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kegiatan sosial. Apakah pendidikan termasuk dalam definisi kegiatan sosial? Sepintas lalu mungkin. Namun dalam kenyataan banyak institusi pendidikan yang mengejar keuntungan, bahkan sering dikatakan bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang baik seseorang harus membayarnya dengan mahal. Di Amerika Serikat, universitas-universitas pilihan umumnya adalah universitas swasta. Mereka menjaring tidak saja calon mahasiswa yang pandai tetapi juga calon mahasiswa yang berasal dari kalangan berada. Demikian pula dengan pendirian rumah sakit: apakah dapat dikatakan sebagai kegiatan sosial? Praktek menunjukkan bahwa ada rumah sakit yang didirikan untuk melayani mereka-mereka yang menginginkan pelayanan prima, tidak berdesak-desakan dan berada di rumah sakit seolah-olah berada di hotel mewah. Oleh karenanya sulit untuk menentukan secara sederhana apa yang dipahami sebagai kegiatan sosial benar-benar merupakan kegiatan sosial yang sama sekali terhindar dari aspek komersial.
Selanjutnya penyebab lain dari penyimpangan bersumber pada peraturan perundang-undangan. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat ditemukan ketentuan yang mensyaratkan penyelenggaraan suatu kegiatan dilakukan oleh yayasan. Di sektor pendidikan, universitas swasta harus dikelola oleh yayasan. Demikian pula dengan sektor kesehatan yang mensyaratkan rumah sakit didirikan dalam bentuk yang sama. Padahal, sebagaimana diuraikan diatas, tidak semua kegiatan pendidikan ataupun kesehatan hanya bersifat sosial. Bagi mereka yang ingin mendirikan lembaga pendidikan atau rumah sakit untuk tujuan komersial tentunya tidak mempunyai pilihan lain selain menggunakan yayasan sebagaimana dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Akibatnya adalah yayasan didirikan untuk sekedar memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan. Padahal yayasan tersebut dikelola sebagaimana layaknya sebuah PT yang merupakan badan hukum yang mencari keuntungan.
Ketiga, yayasan digunakan sebagaimana layaknya PT. Yayasan demikian didirikan dengan maksud sebenarnya untuk mencari keuntungan baik langsung maupun tidak langsung. Banyak contoh untuk hal ini. Yayasan didirikan untuk memiliki saham, untuk mengelola gedung secara komersial, bahkan biro perjalanan yang menawarkan perjalanan ke tempat-tempat suci sering menggunakan yayasan sebagai badan “usaha”-nya. Masuk dalam katagori ini adalah perusahaan-perusahaan yang mendirikan yayasan untuk mendapat keringanan pajak. Padahal selain mendapat keringanan pajak, perusahaan tersebut akan terkesandimata banyak orang sebagai tidak semata-mata mencari keuntungan tetapi juga mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat (kegiatan ini sering disebut sebagai image building). Pada contoh ini keuntungan diperoleh secara tidak langsung.

Sumber Kelemahan Pengelolaan Yayasan
Sumber kelemahan utama dari pengelolaan yayasan adalah tidak adanya aturan yang mengatur tentang yayasan. Yayasan dapat dikelola secara bebas tanpa ada peraturan yang harus diperhatikan. Keberadaan yayasan selama ini hanya didasarkan pada praktek-praktek yang terpelihara. Kekuatan hukum dari praktek-praktek ini tentunya sangat lemah. Akibat lain adalah tidak terjaminnya kepastian hukum mengingat praktek yang satu berbeda dengan praktek lainnya. Ketiadaan pengaturan yayasan juga berarti tidak adanya acuan yang dapat digunakan untuk mengatakan bahwa sesuatu boleh atau tidak boleh.
Di samping itu tidak adanya ketentuan tentang transparansi pengelolaan yayasan kerap disalahgunakan oleh para pendiri maupun pengurus yayasan. Bahkan banyak yayasan yang menggalang dana cukup banyak dari masyarakat terbebas dari kewajiban untuk di-audit. Masyarakat tidak tahu apakah dana yang disumbangkan pada suatu yayasan benar-benar untuk kepentingan sosial atau justru untuk kepentingan lain, bahkan terjadinya kebocoran-kebocoran.
Kelemahan lain adalah yayasan dikelola secara tidak profesional. Pendiri yayasan adalah juga pengurus. Peran dari pengawas yang diangkat untuk megawasi kegiatan dan keuangan yayasan tidak melaksanakan pekerjaannya secara sungguh-sungguh, bahkan terkesan pengangkatan mereka dilakukan sebagai formalitas belaka.



UU Yayasan: Kebutuhan Mendesak
Berbagai kalangan telah mengungkapkan bahwa UU Yayasan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Penulis sependapat dengan apa yang dilontarkan oleh berbagai kalangan ini. Dengan lahirnya UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba akan memberi arah yang jelas tentang berbagai hal yang berkaitan dengan yayasan, dapat menekan berbagai penyimpangan dari yayasan yang selama ini terjadi dan dapat dihindari berbagai kelemahan yang menghinggapi pengelolaan yayasan.
Kehadiran UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba sudah barang tentu akan memberi kepastian hukum yang selama ini tidak ada. Bahkan UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba dapat menjadi dasar untuk menindak apabila terjadi penyimpangan. Hanya saja apabila UU Yayasan hanya berisi tentang prosedur pendirian belaka atau prosedur-prosedur lainnya, walaupun baik tetapi tidak optimal. UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba harus berisi pula ketentuan yang dapat memaksa pengurus beserta organ lainnya untuk mengelola yayasan secara profesional dan baik.

RUU Yayasan dan Penerapan Prinsip Governance dalam Pengelolaan Yayasan
Akhir-akhir ini di Indonesia sering didengungkan tentang prinsip governance. Masalah governance yang berkaitan dengan pemerintahan dikenal dengan istilah good governance, sementara yang berkaitan dengan perusahaan dikenal dengan istilah corporate governance. Walaupun prinsip-prinsip yang dikandung berbeda satu sama lain, namun ada persamaan mendasar diantara keduanya. Persamaan ini terletak pada konsep dasar dari governance yaitu perlunya kontrol berdasarkan aturan terhadap pada pengurus karena stakeholder yang sangat variatif sulit diharapkan mengkontrol pengurus yang bertanggung jawab atas kegiatan sehari-hari. Dalam good governance yang menjadi stakeholder adalah rakyat, lembaga legislatif dan lain sebagainya, sementara yang menjadi pengurus adalah pemerintah (eksekutif). Sedangkan dalam corporate governance yang menjadi stakeholder adalah pemegang saham yang bukan mayoritas, konsumen dan lain sebagainya, sementara yang menjadi pengurus adalah direksi.
Kontrol terhadap pengurus perlu dilakukan karena bagi pengurus sulit menafsirkan untuk apa yang menjadi keinginan para stakeholder. Hal ini memberi peluang kepada pengurus untuk menjalankan negara atau perusahaan berdasarkan tafsirannya tentang apa yang dikehendaki oleh stakeholder. Peluang menafsirkan inilah yang sangat berbahaya apabila tidak ada kontrol karena cenderung disalahgunakan (abuse).
Adapun kontrol yang dilakukan tidak dapat dilakukan oleh para stakeholder secara langsung. Kontrol dilakukan dengan cara membatasi kewenangan pengurus. Batasan inilah yang disebut sebagai prinsip governance.
Dari prinsip governance dilahirkan prinsip-prinsip keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability) dan pertanggung jawaban (responsibility).2 Pengurus harus memperhatikan prinsip governance ini dalam menjalankan kepengurusan sehari-hari sehingga para stakeholder tidak dirugikan. Agar prinsip governance mempunyai kekuatan hukum dan dipatuhi ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama adalah dengan mengakomodasikannya dalam suatu code of conduct yang bukan peraturan perundang-undangan.
Cara kedua adalah dengan mengakomodasikannya dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Cara kedua ini mensyaratkan keterlibatan negara (legislatif) dalam hal-hal yang bersifat hubungan perdata. Keterlibatan negara ini didasarkan pada argumentasi bahwa negara harus melindungi pihak yang lemah.
Prinsip governance dapat juga diterapkan dalam pengelolaan yayasan. Tujuan dari penerapan prinsip ini adalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaan yayasan sehingga stakeholder dirugikan. Supaya prinsip governance ini benar-benar dipatuhi, dalam konteks Indonesia perlu ditempuh cara kedua yaitu mengakomodasikannya dalam peraturan perundang-undangan.
Apabila diperhatikan RUU yang disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR dapat disimpulkan bahwa banyak hal dalam prinsip governance yang telah diakomodasi. Dalam RUU telah dipilah-pilah organ yayasan, yaitu Pembina, Pengurus dan Pengawas serta tugas dan tanggung jawab masing-masing3. Dalam konteks governance hal ini penting mengingat dibutuhkan kejelasan tentang siapa yang harus mempertanggungjawabkan apa (prinsip responsibility). Bahkan ketentuan Pasal 31 ayat (3) yang melarang Pengurus merangkap sebagai Pembina atau Pengawas merupakan hal penting untuk menjaga profesionalisme pengurus.4
Selanjutnya wujud dari diterapkannya prinsip governance dalam RUU Yayasan adalah pengaturan tentang tujuan dari Yayasan yang sangat limitatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tujuan yayasan adalah dibidang sosial, keagamaan dan kemanusian.5 Bahkan apabila diperhatikan Bagian Umum dari Penjelasan RUU Yayasan disebutkan bahwa,
“Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusian, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas.”6
Penegasan ini menunjukkan bahwa yayasan tidak boleh lagi digunakan untuk tujuan-tujuan yang bersifat komersial. Dalam konteks prinsip governance hal ini berarti bahwa stakeholder (termasuk para donatur) dapat memastikan bahwa yayasan tidak dijadikan kedok belaka.
Ada dua kritik yang dapat disampaikan sehubungan dengan pengaturan tentang pengaturan tujuan yayasan. Pertama adalah pengaturan tentang tujuan dari yayasan yang tidak diatur dalam pasal tersendiri. Dalam RUU Yayasan pengaturan tentang tujuan dari yayasan hanya diatur dalam pasal definisi. Kritik yang kedua adalah tujuan yayasan yang disebutkan dalam RUU menurut hemat penulis belum dilakukan secara tajam walaupun dalam penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa cakupan dari bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan antara lain adalah hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.7
Ketidaktajaman formulasi tentang tujuan yayasan dapat berakibat pada dilakukakannya praktek-praktek masa silam. Apakah sebuah kantor konsultan dibidang lingkungan yang melakukan kegiatannya secara komersial dapat mendirikan yayasan? Hal ini mengingat lingkungan hidup tercakup dalam bidang sosial, agama dan kemanusiaan. Bukankah yang menjadi ukuran untuk menentukan tujuan yayasan adalah pada kegiatannya? Artinya kegiatan yayasan dilihat apakah mengejar keuntungan atau tidak. Tujuan yayasan seharusnya tidak didasarkan pada bidang kegiatan sebagaimana diatur dalam RUU Yayasan.
Berikutnya dalam konteks penerapan prinsip governance yang telah mendapat pengaturan dalam RUU Yayasan adalah larangan yayasan mendirikan badan usaha yang penyertaannya melebihi dari 25% dari seluruh kekayaan yayasan.8 Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6, ketentuan ini dimaksudkan agar yayasan tidak menyimpang dari tujuan didirikannya dan lebih mengejar aspek komersial.9 Walaupun sudah baik, namun kekurangan dari ketentuan Pasal 6 ini adalah masih dapat digunakannya yayasan sebagai nominee untuk mendirikan perseroan terbatas.
Demikian pula dengan prinsip transparansi dari governance yang telah mendapat pengaturan dalam RUU Yayasan, yaitu Bab VII tentang Laporan Tahunan. Dalam Pasal 54 ayat (1), misalnya, disebutkan bahwa ikhtisar laporan tahunan yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor yayasan.10 Bahkan dalam Pasal 54 ayat (4) ada kewajiban bagi yayasan untuk diaudit oleh Akuntan Publik.11
Di samping hal-hal tersebut diatas dalam RUU Yayasan disana-sini sudah diserap prinsip governance. Seperti apa yang diatur dalam Pasal 36 ayat (2). Pasal tersebut menyebutkan bahwa Pengurus mempunyai kewajiban untuk menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.12 Demikian pula dengan ketentuan yang mengatur tentang benturan kepentingan antara Pengurus dengan Yayasan serta pembatasan kewenangan dari Pengurus sehubungan dengan pengelolaan kekayaan yang dimiliki oleh yayasan.13 Kemudian RUU Yayasan mensyaratkan keberadaan Pengawas sebagai suatu keharusan.14 Hanya saja dalam ketentuan tersebut tidak diatur secara rinci bahwa Pengawas haruslah orang yang independen baik terhadap Pengurus maupun Pembina. Sehingga dalam menjalankan tugasnya Pengawas akan bekerja secara profesional. Ketentuan lain yang sesuai dengan prinsip governance adalah kewenangan Pengawas untuk memberhentikan sementara anggota Pengurus.15 Kewenangan demikian penting untuk memberikan “gigi” bagi Pengawas dalam menjalankan tugasnya. Tanpa kewenangan tersebut dikhawatirkan Pengurus akan mengelola yayasan tanpa takut ada sanksi yang dikenakan padanya.
Walaupun prinsip governance sudah banyak diakomodasi, namun RUU Yayasan masih perlu disempurnakan. Banyak hal yang perlu mendapat penjelasan rinci sehingga dalam praktek nantinya tidak menimbulkan kesimpangsiuran atau penafsiran yang bermacam-macam. Sebagai contoh dalam Pasal 39 ayat (2) disebutkan bahwa Pengurus dapat mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, Pembina, dan atau Pengawas Yayasan atau seseorang yang bekerja pada Yayasan sepanjang perjanjian tersebut menguntungkan Yayasan.16 Permasalahannya adalah siapa yang menentukan apakah perjanjian yang dilakukan menguntungkan atau merugikan yayasan? Lalu apa ukuran untuk menentukan bahwa perjanjian yang dilakukan menguntungkan?


Penutup
Terlepas dari berbagai kekurangan yang terdapat dalam RUU Yayasan dimana masih ada waktu untuk memperbaikinya, kehadiran UU Yayasan tidak bisa ditawar-tawar lagi. UU Yayasan diharapkan dapat dijadikan acuan bagi masyarakat dan meminimalkan penyimpangan-penyimpangan dan kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan yayasan yang selama ini ada.

Rabu, 08 Juli 2009

song tagareggae

senjaku

Duduk di tepi pantai
menunggu matahari turun di ufuk barat
indahnya warna damaikan rasa
sunset indah menghiasi sore hariku

sambut matahari yang turun
nyanyikan Reggae musik
bukan cuma memberikan relaksasi,
tapi juga membawa pesan cinta,
damai, kesatuan dan keseimbangan
serta mampu mengendurkan
ketegangan.lagu pantai
resapi indahnya alam
ku masuk ke dalamnya




SEJARAH MUSIK REGGAE



"Musik Jamaica Pendahulu"

Menurut
sejarah Jamaica, budak yang membawa drum dari Africa disebut "Burru"
yang jadi bagian aransemen lagu yang disebut "talking drums" (drum yang
bicara) yang asli dari Africa Barat. "Jonkanoo" adalah musik budaya
campuran Afrika, Eropa dan Jamaika yang terdiri dari permainan drum,
rattle (alat musik berderik) dan conch tiup. Acara ini muncul saat
natal dilengkapi penari topeng. Jonkanoos pada awalnya adalah tarian
para petani, yang belakangan baru disadari bahwa sebenarnya mereka
berkomunikasi dengan drum dan conch itu. Tahun berikutnya, Calypso dari
Trinidad & Tobago datang membawa Samba yang berasal dari Amerika
Tengah dan diperkenalkan ke orang - orang Jamaika untuk membentuk
sebuah campuran baru yang disebut Mento. Mento sendiri adalah musik
sederhana dengan lirik lucu diiringi gitar, banjo, tambourine, shaker,
scraper dan rumba atau kotak bass. Bentuk ini kemudian populer pada
tahun 20 dan 30an dan merupakan bentuk musik Jamaika pertama yang
menarik perhatian seluruh pulaunya. Saat ini Mento masih bisa dinikmati
sajian turisme. SKA yang sudah muncul pada tahun 40 - 50an sebenarnya
disebutkan oleh History of Jamaican Music, dipengaruhi oleh Swing,
Rythym & Blues dari Amrik. SKA sebenarnya adalah suara big band
dengan aransemen horn (alat tiup), piano, dan ketukan cepat "bop". Ska
kemudian dengan mudah beralih dan menghasilkan bentuk tarian "skankin"
pad awal 60an. Bintang Jamaica awal antara lain Byron Lee and the
Dragonaires yang dibentuk pada 1956 yang kemudian dianggap sebagai
pencipta "ska". Perkembangan Ska yang kemudian melambatkan temponya
pada pertengahan 60an memunculkan "Rock Steady" yang punta tune bass
berat dan dipopulerkan oleh Leroy Sibbles dari group Heptones dan
menjadi musik dance Jamaika pertama di 60an.

"Reggae N Rasta"

Bob
Marley tentunya adalah bintang musik "dunia ketiga" pertama yang jadi
penyanyi group Bob Marley & The Wailers dan berhasil memperkenalkan
reggae lebih universal. Meskipun demikian, reggae dianggap banyak orang
sebagai peninggalan King of Reggae Music, Hon. Robert Nesta Marley.
Ditambah lagi dengan hadirnya "The Harder they Come" pada tahun 1973,
Reggae tambah dikenal banyak orang. Meninggalnya Bob Marley kemudian
memang membawa kesedihan besar buat dunia, namun penerusnya seperti
Freddie McGregor, Dennis Brown, Garnett Silk, Marcia Fiffths dan Rita
Marley serta beberapa kerabat keluarga Marley bermunculan. Rasta adalah
jelas pembentuk musik Reggae yang dijadikan senjata oleh Bob Marley
untuk menyebarkan Rasta keseluruh dunia. Musik yang luar biasa ini
tumbuh dari ska yang menjadi elemen style American R&B dan
Carribean. Beberapa pendapat menyatakan juga ada pengaruh : folk music,
musik gereja Pocomania, Band jonkanoo, upacara - upacara petani, lagu
kerja tanam, dan bentuk mento. Nyahbingi adalah bentuk musik paling
alami yang sering dimainkan pada saat pertemuan - pertemuan Rasta,
menggunakan 3 drum tangan (bass, funde dan repeater : contoh ada di
Mystic Revelation of Rastafari). Akar reggae sendiri selalu menyelami
tema penderitaan buruh paksa (ghetto dweller), budak di Babylon, Haile
Selassie (semacam manusia dewa) dan harapan kembalinya Afrika. Setelah
Jamaica merdeka 1962, buruknya perkembangan pemerintahan dan pergerakan
Black Power di US kemudian mendorong bangkitnya Rasta. Berbagai
kejadian monumentalpun terjadi seiring perkembangan ini.

"Apa sih Reggae"

Reggae
sendiri adalah kombinasi dari iringan tradisional Afrika, Amerika dan
Blues serta folk (lagu rakyat) Jamaika. Gaya sintesis ini jelas
menunjukkan keaslian Jamaika dan memasukkan ketukan putus - putus
tersendiri, strumming gitar ke arah atas, pola vokal yang 'berkotbah'
dan lirik yang masih seputar tradisi religius Rastafari. Meski banyak
keuntungan komersial yang sudah didapat dari reggae, Babylon (Jamaika),
pemerintah yang ketat seringkali dianggap membatasi gerak namun bukan
aspek politis Rastafarinya. "Reg-ay" bisa dibilang muncul dari anggapan
bahwa reggae adalah style musik Jamaika yang berdasar musik soul
Amerika namun dengan ritem yang 'dibalik' dan jalinan bass yang
menonjol. Tema yang diangkat emang sering sekitar Rastafari, protes
politik, dan rudie (pahlawan hooligan). Bentuk yang ada sebelumnya (ska
& rocksteady) kelihatan lebih kuat pengaruh musik Afrika -
Amerika-nya walaupun permainan gitarnya juga mengisi 'lubang - lubang'
iringan yang kosong serta drum yang kompleks. Di Reggae kontemporer,
permainan drum diambil dari ritual Rastafarian yang cenderung mistis
dan sakral, karena itu temponya akan lebih kalem dan bertitik berat
pada masalah sosial, politik serta pesan manusiawi.

"Ngga asli Jamaika lho!"

Reggae
memang adalah musik unik bagi Jamaika, ironisnya akarnya berasal dari
New Orleans R&B. Nenek moyang terdekatnya, ska berasal berasal dari
New Orleans R&B yang didengar para musisi Jamaika dari siaran radio
Amrik lewat radio transistor mereka. Dengan berpedoman pada iringan
gitar pas - pasan dan putus - putusadalah interprestasi mereka akan
R&B dan mampu jadi populer di tahun 60an. Selanjutnya semasa musim
panas yang terik, merekapun kepanasan kalo musti mainin ska plus
tarinya, hasilnya lagunya diperlambat dan lahirlah Reggae. Sejak itu,
Reggae terbukti bisa jadi sekuat Blues dan memiliki kekuatan
interprestasi yang juga bisa meminjam dari Rocksteady (dulu) dan bahkan
musik Rock (sekarang). Musik Afrika pada dasarnya ada di kehidupan
sehari-hari, baik itu di jalan, bus, tempat umum, tempat kerja ato
rumah yang jadi semacam semangat saat kondisi sulit dan mampu
memberikan kekuatan dan pesan tersendiri. Hasilnya, Reggae musik bukan
cuma memberikan relaksasi, tapi juga membawa pesan cinta, damai,
kesatuan dan keseimbangan serta mampu mengendurkan ketegangan.

"It's Influences"

Saat
rekaman Jamaika telah tersebar ke seluruh dunia, sulit rasanya
menyebutkan berapa banyak genre musik popular sebesar Reggae selama dua
dekade. Hits - hits Reggae bahkan kemudian telah dikuasai oleh bintang
Rock asli mulai Eric Clapton sampai Stones hingga Clash dan Fugees.
Disamping itu, Reggae juga dianggap banyak mempengaruhi pesona tari
dunia tersendiri. Budaya 'Dancehall' Jamaika yang menonjol plus sound
system megawatt, rekaman yang eksklusif, iringan drum dan bass, dan
lantunan rap dengan iringannya telah menjadi budaya tari dan tampilan
yang luar biasa. Inovasi Reggae lainnya adalah Dub remix yang sudah
diasimilasi menjadi musik populer lainnya lebih luas lagi.

Senin, 13 April 2009

Salah satu tujuan dari pengembangan sistem informasi

PERLUNYA PENGEMBANGAN SISTEM
Pengembangan sistem dapat berarti menyusun suatu sistem yang baru untuk
menggantikan sistem yang lama secara keseluruhan atau memperbaiki sistem
yang telah ada.
Perlunya Pengembangan Sistem :
· Adanya permasalahan (problem) yang timbul pada sistem yang lama
Permasalahan yang timbul dapat berupa :
- Ketidakberesan
- Pertumbuhan Organisasi
· Untuk meraih kesempatan (opportunities)
Teknologi informasi telah berkembang dengan cepatnya
· Adanya instruksi-instruksi (directives)